sejarah 2

Dalam bab ini, kamu akan mempelajari kehidupan awal masyarakat
Indonesia. Kehidupan masyarakat Indonesia mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut terjadi dalam bidang sosial, ekonomi, dan sistem
kepercayaan. Aspek-aspek kehidupan tersebut telah ada sejak awal keberadaan
manusia Indonesia. Periodisasi sejarah yang digunakan untuk memahami
perkembangan aspek-aspek kehidupan tersebut, dapat dilihat masa berburu
dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, hingga masa perundagian.
Pada masing-masing periode tersebut memiliki cirinya tersendiri yang dicirikan
oleh hasil-hasil kebudayaannya.
A. KEBERADAAN AWAL MANUSIA DI BUMI
Pernahkah kamu merenungkan tentang
awal keberadaan manusia di muka bumi ini?
Lebih awal mana keberadaannya antara manusia
dengan alam semesta? Bagaimana bentuk
fisik manusia yang hidup pada masa tersebut?
Apakah bentuk fisik mereka sama dengan
kita sekarang ini? Bagaimana pola kehidupan
yang dikembangkan oleh manusia yang hidup
pada zaman tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu akan
sangat menarik untuk kita kaji bersama-sama
dalam pokok bahasan yang akan kita uraikan
berikut ini.
Keberadaan alam semesta jauh lebih tua dibandingkan dengan keberadaan
manusia. Artinya, alam semesta ini telah lama ada sebelum manusia mulai
menghuni permukaan bumi. Manusia diperkirakan mulai mendiami bumi ini
pada kala Plestosen, sedangkan menurut usia bumi kala Plestosen merupakan
masa yang paling muda. Untuk lebih jelasnya coba kamu perhatikan bagan
di bawah ini!
Kata-kata kunci
• masa kenozoikum
• masa mesozoikum
• masa palaeozoikum
• zaman primer
• zaman sekunder
• zaman tersier
• zaman kwarter
Masa Zaman Kala
Kenozoikum
Kwarter
Tersier
0,01
1,8
5
26
37-38
65
136
Holosen
Plestosen
Pliosen
Miosen
Oligosen
Eosen
Palaeosen
Tahun (juta)
123
Pada masa arkeozoikum, di bumi belum ada tanda-tanda kehidupan.
Bumi ini masih merupakan gas yang panas sehingga tidak memungkinkan
untuk makhluk hidup dapat bertahan hidup dalam kondisi alam seperti itu.
Lama kelamaan akhirnya temperatur gas tersebut akhirnya mulai menurun
dan sebagian mulai mengeras membentuk kerak bumi.
Masa palaeozoikum disebut juga sebagai zaman kehidupan purba karena
pada masa ini diperkirakan mulai adanya makhluk hidup di bumi ini. Makhluk
hidup yang ada pada masa ini masih sangat primitif . Diperkirakan makhluk
yang hidup pada masa ini adalah makhluk bersel satu dan masih sangat
sederhana.
Masa mesozoikum disebut juga dengan zaman kehidupan madya. Masa
ini merupakan fase kedua dari keberadaan makhluk hidup. Pada masa ini
diperkirakan mulai hidup binatang-binatang amphibi dan reptil. Binatangbinatang
yang berukuran besar seperti dinosaurus, tyranosaurus, dan sejenisnya,
hidup pada masa ini sehingga masa ini dikenal dengan sebutan zaman jura.
Manusia diperkirakan belum ada pada masa ini karena kondisi alamnya
belum memungkinkan untuk manusia dapat bertahan hidup. Coba kamu
bayangkan bagaimana kalau manusia sudah ada pada masa ini dan harus
hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk lain yang memiliki ukuran
tubuh yang sangat besar!
Masa kenozoikum dikenal juga dengan zaman kehidupan muda karena
merupakan masa termuda dalam usia bumi dan masih berlaku sampai sekarang
ini. Masa kenozoikum terbagi dalam dua zaman, yaitu zaman tersier dan
zaman kwarter. Pada zaman tersier diperkirakan mulai muncul jenis-jenis
binatang baru yang merupakan jenis binatang mamalia. Binatang-binatang
berukuran besar lambat laun mulai mengalami kepunahan pada zaman ini.
Masa Zaman Kala
Mesozoikum
Palaeozoikum
Arkeozoikum
Sekunder
Primer
190
225
230
345
Kapur
Jura
Trias
Perem
Karbon
Devon
Silur
Ordovisium
Kambrium
Pra-Kambium
Tahun (juta)
124
Namun pada zaman ini diperkirakan manusia belum ada. Keberadaan manusia
baru muncul pada zaman kwarter. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
fosil-fosil manusia yang setelah diperkirakan usianya berada pada kala
plestosen. Pada plestosen awal ditemukan fosil pithecanthropus mojokertensis
yang usianya diperkirakan 1,9 juta tahun. Fosil meganthropus paleojavanicus
yang ditemukan di daerah Sangiran usianya antara 2 sampai 1 juta tahun
juga diperkirakan hidup pada zaman kwarter pada kala plestosen awal.
Pada masa awal kehidupan manusia, mereka harus menghadapi kondisi
alam yang sangat berat. Pada kala plestosen, keadaan bumi belum stabil
ditandai dengan sering terjadinya perubahan fisik, yaitu perubahan gerakan
bumi baik yang menurun atau pun mengangkat. Pada kala plestosen terjadi
tujuh kali perubahan, yaitu empat kali zaman glasial dan tiga kali zaman
interglasial.
Peristiwa-peristiwa alam yang terjadi pada masa plestosen merupakan
tantangan yang sangat berat yang harus dihadapi oleh manusia pada saat
itu. Dengan kemampuannya yang masih sangat terbatas, manusia berusaha
mempertahankan hidupnya dengan berbagai akal menghadapi tantangan
alam dan berusaha mencari makan dengan alat-alat yang masih sangat
sederhana. Iklim yang sangat dingin yang terjadi pada masa glasial merupakan
salah satu tantangan alam yang memaksa manusia dan hewan berpindah
tempat menuju daerah yang iklimnya lebih cocok untuk mereka. Diduga
pada masa glasial makhluk-makhluk hidup berpindah atau bermigrasi dari
tempat asalnya. Selain didorong untuk mencari iklim yang lebih cocok juga
dorongan yang sangat kuat adalah mencari daerah sumber persediaan makanan.
Hal ini dikarenakan manusia yang hidup pada masa tersebut masih tergantung
pada alam. Apabila alam tempat mereka telah tidak mampu memberikan
persediaan makanan maka mereka akan meninggalkan tempat tersebut dan
mencari lagi daerah yang masih bisa memberikan penghidupan pada mereka.
Holosen (aluvium)
Plestosen (diluvium)
Glasial IV 118 – 10.000
Interglasial
Glasial III 230 – 180.000
Interglasial
Glasial II 480 – 420.000
Interglasial
Glasial I 600 – 500.000
Zaman
125
Manusia pada masa ini harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
alam. Jika mereka tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
hidup sekitarnya maka ancaman kepunahan akan terjadi. Mereka yang
mampu bertahan hidup tentu akan sanggup untuk melanjutkan kehidupan
dan melahirkan generasi penerus. Kemampuan untuk mempertahankan diri
terutama dalam menyesuaikan terhadap kondisi alam yang terus berubah
serta kemampuan dalam memperoleh makanan untuk kelangsungan hidup
menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Hal ini terjadi baik pada binatang,
tumbuhan dan juga manusia. Secara perlahan-lahan bentuk fisik manusia
mengalami perubahan sehingga mencapai bentuk seperti kita sekarang ini.
B. AWAL KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA DI
INDONESIA
Manusia adalah mahluk yang memiliki
perbedaan dengan binatang. Perbedaan utama
manusia dengan binatang adalah manusia
memiliki akal sedangkan binatang tidak. Akal
yang dimiliki oleh manusia itulah yang menjadi
penyebab utama kehidupan manusia mengalami
perkembangan. Perkembangan ini terjadi ketika
manusia berinteraksi dengan lingkungan alam.
Dengan akal yang dimilikinya, manusia mencoba
memecahkan tantangan alam yang dihadapinya. Sedangkan binatang, dalam
menghadapi tantangan cenderung melakukan adaptasi secara fisik. Misalnya
di daerah yang beriklim dingin binatang memiliki kulit yang tebal, di dalam
air binatang memiliki sirip dan insang untuk bernapas, dan yang lainnya.
Binatang yang tidak mampu beradaptasi dengan alam cenderung akan punah.
Adaptasi yang dilakukan oleh manusia dalam berinteraksi dengan tantangan
alam, lebih banyak menggunakan akal. Manusia dengan akal yang dimilikinya,
mencoba berpikir bagaimana memecahkan tantangan hidup yang dihadapi
yang disebabkan oleh kondisi alam. Jawaban yang dilakukan oleh manusia
dalam menghadapi tantangan tersebut, yaitu dengan menciptakan berbagai
peralatan hidup. Manusia secara fisik tidak melakukan adaptasi seperti
yang terjadi pada binatang. Perkembangan yang terjadi justru pada alatalat
kehidupan yang digunakan. Dari zaman ke zaman, peralatan kehidupan
Kegiatan 4.1
Buatlah dalam sebuah tabel yang berisi ciri-ciri penting dari masing-masing
zaman.
Kata-kata kunci
• masa berburu dan
mengumpulkan
• masa bercorok tanam
• masa perundagian
• zaman megalithikum
126
manusia berkembangan. Perkembangan itu terjadi, mulai dari yang sederhana
hingga yang kompleks. Perubahan terjadi mulai dari bahan yang digunakan
hingga pada bentuk, misalnya mulai dari bahan yang menggunakan batu,
tulang, kayu, hingga logam dan besi. Dari segi bentuk, mulai dari yang
kasar hingga yang halus, mulai dari bentuk hiasan yang sederhana hingga
menjadi hiasan yang indah. Peralatan-peralatan yang diciptakan oleh manusia
merupakan hasil kebudayaannya.
Perkembangan kehidupan manusia, terjadi bukan hanya pada hubungan
manusia dengan lingkungan alam. Interaksi di antara sesama manusia mengalami
perkembangan pula. Interaksi ini terjadi disebabkan oleh adanya saling
membutuhkan di antara individu-individu, karena secara fitrahnya manusia
merupakan makhluk sosial. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri.
Interaksi manusia akan melahirkan bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan
keluarga.
Kebutuhan yang menjadi dasar hubungan antarmanusia dapat berupa
kebutuhan yang bersifat materi maupun nonmateri. Kebutuhan nonmateri,
misalnya kebutuhan biologis. Hubungan manusia yang berdasar pada kebutuhan
biologis akan melahirkan suatu perkawinan, yang kemudian membentuk
suatu keluarga. Pembentukan keluarga akan berkembang pada pembentukan
kelompok masyarakat yang lebih luas. Di antara anggota keluarga atau
kelompok masyarakat akan terjadi ketergantungan kebutuhan materi. Hubungan
materi ini akan melahirkan kehidupan ekonomi.
Kebutuhan ekonomi dalam suatu kelompok keluarga dilakukan biasanya
melalui pembagian kerja. Pada kelompok keluarga manusia purba, biasanya
kaum laki-laki mencari berburu ke hutan mencari binatang untuk dijadikan
makanannya. Mereka berburu secara berkelompok, dengan tujuan demi
keamanan. Sedangkan kaum wanita dan anak-anak biasanya hanya mencari
makanan atau tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal sementara mereka.
Kehidupan sosial dan ekonomi merupakan dua aspek kehidupan yang
saling berkait. Sebagaimana telah dikemukakan, kehidupan manusia purba
mencari makanan secara berkelompok. Dalam mencari makanan ini pun
kemudian mengalami perkembangan. Semula mereka bergantung pada alam,
lambat laun mereka mengolah sumber makanan yang disediakan oleh alam.
Hal ini terjadi disebabkan sumber makanan yang disediakan oleh alam
memiliki ketersediaan yang menipis dan terbatas. Dampak dari ini pula,
manusia mengalami perkembangan dalam hal tempat tinggal. Semula, hidupnya
berpindah-pindah, kemudian menjadi menetap. Dengan demikian kehidupan
sosial ekonomi pun mengalami perubahan.
127
Gambar 4.1
Kehidupan keluarga manusia purba
(Sumber : Oxford Ensiklopedi Pelajar Jilid 5, halaman 41)
Kebutuhan nonmateri lainnya yaitu kepercayaan. Kehidupan kepercayaan
manusia pun mengalami perkembangan. Suatu kepercayaan pada manusia, biasanya
timbul disebabkan adanya keyakinan pada diri manusia terhadapnya kekuatankekuatan
gaib yang menguasai kehidupan manusia. Kekuatan gaib tersebut dapat
dipersonifikasikan ke dalam benda-benda fisik yang ada di sekitarnya, misalnya
pohon, batu, bahkan juga binatang. Benda-benda tersebut dianggap keramat. Sebagai
wujud adanya kepercayaan maka lahirlah kegiatan-kegiatan ritual atau upacaraupacara
penyembahan.Upacara penyembahan pun mengalami perkembangan mulai
dari menyembah terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan yang gaib,
sampai dengan mempercayai adanya Dewa dan Tuhan.
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan
Masa ini merupakan awal tahapan kehidupan manusia dalam bidang
kehidupan sosial ekonomi. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan
menghasilkan alat-alat yang digunakan untuk menopang kehidupannya. Selain
itu, pada masa ini menghasilkan pula sistem kepercayaan.
a. Kehidupan sosial-ekonomi
Kehidupan manusia pada masa ini, belum melakukan pengolahan terhadap
sumber-sumber daya alam. Ketergantungan manusia terhadap alam sangat
tinggi, mereka memakan makanan yang sudah disediakan oleh alam. Cara
yang mereka lakukan untuk mendapat makanan yaitu dengan berburu dan
mengumpulkan makanan. Berburu dan mengumpulkan makanan merupakan
cara yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Apabila persediaan
makanan yang terdapat pada alam di mana mereka tinggal, maka tempat
tersebut akan mereka tinggalkan. Oleh sebab itu, kehidupan manusia pada
masa ini berpindah-pindah (nomaden), tidak memiliki tempat tinggal.
128
Jenis makanan yang mereka buru adalah binatang di hutan. Selain
binatang di hutan, mereka juga di sungai, danau, atau pantai melakukan
penangkapan ikan. Hasil buruan baik binatang dari hutan maupun hasil
tangkapan ikan, tidak mereka olah menjadi masakan sebagaimana layaknya
hidangan makanan sekarang. Ikan atau daging itu, mereka bakar untuk
dimakan. Pada masa ini, pengolahan makanan baru sebatas dibakar saja,
karena mereka sudah mengenal api.
Selain memakan binatang buruan dan ikan, manusia pada masa ini
sudah memakan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan yang mereka makanan
pada umumnya berupa umbi-umbian, yang biasanya tumbuh di sekitar tempat
tinggal mereka. Tumbuh-tumbuhan itu langsung mereka makan mentahmentah,
tidak dimasak dahulu. Mereka belum memiliki kemampuan menanak
nasi.
Sebagaimana telah dikemukakan, manusia purba hidup secara berkelompok.
Hal ini mereka lakukan pula ketika melakukan kegiatan berburu. Mereka
berkelompok dengan tujuan demi keamanan terutama dalam menghadapi
serangan dari binatang buas. Kalau dengan cara berkelompok perlindungan
mereka relatif lebih aman daripada pergi sendiri.
Hewan dan makanan yang menjadi sumber penghidupan manusia purba,
dicari pada daerah-daerah tertentu. Untuk mendapatkan makanannya baik
dari itu hewan maupun tumbuh-tumbuhan, manusia purba hidup pada daerahdaerah
tertentu yang memungkinkan mereka mendapatkan makanan. Dengan
demikian kegiatan berburu atau mencari makanan dengan cara berpindahpindah,
bukan berarti manusia purba ini selalu bepergian seenaknya, dengan
tidak menimpati suatu tempat. Mereka tetap menempati suatu daerah tertentu.
Gambar 4.2
Manusia Purba Sedang Mencari Makanan
(Sumber : Lukisan Sejarah, halaman 39)
Kehidupan berburu menyebabkan manusia purba harus hidup berpindahpindah.
Mereka belum memiliki rumah sebagai tempat tinggal yang permanen.
129
Tempat yang dijadikan tempat tinggal sementara adalah gua-gua. Manusia
purba, memilih tempat tinggal sementara, terutama daerah yang di sekitarnya
tersedia makanan. Misalnya mereka tinggal dekat sungai atau pantai yang
mudah untuk mencari ikan, atau hutan yang terdapat tumbuh-tumbuhan
yang bisa mereka makan atau dapat dijadikan tempat berburu binatang.
Dalam berburu binatang, biasanya mereka menyusuri sungai yang dapat
dijadikan petunjuk jalan agar tidak tersesat. Sungai mereka susuri dengan
cara berjalan kaki, belum menggunakan perahu.
Sedangkan di tepian pantai, manusia purba memakan makanan yang
terdapat di pantai. Makanan yang mereka makan adalah kerang dan ikan
laut. Teknik penangkapan ikan dilakukan dengan alat sederhana, belum
menggunakan perahu atau jaring seperti sekarang. Mereka menggunakan
tombak atau kail untuk menangkap ikan.
b. Alat-alat yang digunakan
Batu, tulang, dan kayu merupakan bahan-bahan yang digunakan oleh
manusia purba untuk membuat alat-alat. Temuan yang dilakukan oleh para
ahli, lebih banyak menemukan alat-alat dari batu dan tulang. Hal ini mungkin
disebabkan batu dan tulang merupakan bahan yang kuat, tidak mudah
lapuk. Sedangkan kayu merupakan bahan yang mudah lapuk, sehingga
para ahli tidak terlalu banyak menemukan alat-alat yang terbuat dari kayu.
Bentuk alat-alat yang ditemukan pada masa berburu ini masih dalam
bentuk sederhana. Batu yang digunakan masih kasar belum halus. Penemuan
sejumlah alat dari batu ditemukan oleh von Koeningwald di Pacitan pada
tahun 1935. Alat yang ditemukan berupa kapak genggam. Jenis alat ini
serupa kapak tetapi tidak bertangkai. Alat ini disebut pula dengan sebutan
chopper. Penggunaan alat ini dilakukan dengan cara digenggam. Bentuk
kapak ini masih kasar, dan diperkirakan Pithecantrhopus merupakan pendukung
kebudayaan kapak genggam. Pendapat ini didasarkan pada lapisan tempat
ditemukannya kapak genggam. Kapak ini ditemukan pada lapisan tanah
yang sama dengan lapisan tanah pithecanthropus.
Kapak genggam ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, antara
lain Pacitan, Bali, Flores, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Jawa Barat
(Sukabumi dan Ciamis). Di luar Indonesia, jenis kapak ini ditemukan di
Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Myanmar, dan Pakistan. Sezaman
dengan Pithecanthropus, Sinanthropus Pekinensis yang ada di China meninggalkan
juga jenis kapak genggam.
130
Gambar 4.3
Chopper atau alat genggam yang ditemukan di Pacitan
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia 1,
halaman 393 dan 395)
Di daerah Ngandong dan Sidorejo ditemukan pula alat lainnya yang
terbuat dari tulang. Alat dari tulang itu banyak berasal dari tulang binatang
hasil buruan. Bagian tulang yang digunakan sebagai alat biasanya bagian
tanduk dan kaki. Fungsi dari alat ini dipergunakan untuk mengorek umbiumbian
dari dalam tanah dan mengerat daging binatang. Tanduk atau tulang
yang diikatkan pada kayu dapat berfungsi sebagai tumbak untuk berburu
binatang atau menangkap ikan.
Gambar 4.4 Flakes dari Sangiran
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 396)
Di daerah lainnya, yaitu Sangiran, Sulawesi Selatan, Maumere, dan
Timor ditemukan alat-alat serpih yang dinamakan flakes. Flakes ini sangat
kecil sekali dan bentuknya ada yang seperti pisau, gurdi, atau penusuk.
Diperkirakan flakes ini digunakan untuk mengupas, memotong, atau menggali
makanan.
131
Kalau dikaitkan dengan kehidupan manusia purba, kebudayaan kapak
genggam (chopper), alat tulang-tulang, dan flakes ini termasuk pada peninggalan
jenis manusia Pihecanthopus Erectus. Manusia jenis ini hidup pada masa
Palaeolithikum atau zaman batu tua dengan ciri-ciri kebudayaan yang
dihasilkan banyak terbuat dari batu yang masih kasar.
c. Sistem kepercayaan
Pada masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan, sistem kepercayaan
pada sesuatu yang luar biasa atau kekuatan di luar kehendak manusia,
tampaknya sudah ada. Hal itu dapat diketahui dari sisa-sisa penguburan
manusia yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, mereka percaya,
bahwa ada suatu kehidupan lain setelah mati.
2. Masa bercocok tanam
Kehidupan manusia setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan
adalah masa bercocok tanam. Bagaimanakah proses perkembangan dari
masa berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam?
a. Kehidupan sosial-ekonomi
Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan
itu dapat disebabkan karena ada interaksi antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam. Ketika kebutuhan hidup manusia terpenuhi oleh
alam, manusia tidak perlu susah-susah membuat dan mengolah makanan.
Manusia cukup mengambil dari alam, karena alam banyak menyediakan
kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain buah-buahan
dan binatang buruan. Kehidupan awal manusia sangat tergantung dari alam.
Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia,
yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber daya alam berkurang,
maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan makanan.
Manusia harus mengolah alam. Pada masa ini kehidupan manusia berkembang
dengan mulai mengolah makanan dengan cara bercocok tanam.
Karena manusia sudah beralih pada tingkat kehidupan bercocok tanam,
maka pola hidupnya tidak lagi nomaden atau berpindah-pindah. Manusia
sudah mulai menetap di suatu tempat, yang dekat dengan alam yang diolahnya.
Binatang buruan pun sudah ada yang mulai dipelihara. Dengan demikian,
bercocok tanam dan beternak sudah berkembang pada masa ini.
Alam yang dipakai untuk bercocok tanam adalah hutan-hutan. Hutan
itu ditebang, dibersihkan, kemudian ditanami dengan tumbuh-tumbuhan,
buah-buahan, atau pepohonan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia atau
masyarakat. Cara yang mereka lakukan masih sangat sederhana. Berhuma
132
merupakan cara bercocok tanam yang sangat sederhana. Karena berhuma
memerlukan tempat yang subur, maka ketika tanah itu sudah tidak subur,
mereka akan mencari daerah baru. Dengan demikian hidup mereka berpindah
ke tempat baru untuk waktu tertentu, dan begitu seterusnya.
b. Alat-alat yang dihasilkan
Peralatan pada masa bercocok tanam masuk pada zaman mesolithikum
(zaman batu pertengahan) dan neolithikum (zaman batu muda). Namun
demikian alat-alat yang dihasilkan pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan atau zaman palaeolithikum tidak ditinggalkan. Alat-alat itu masih
dipertahankan dan dikembangkan, seperti alat-alat dari batu sudah tidak
kasar lagi tapi sudah lebih halus karena ada proses pengasahan.
Berikut ini alat-alat atau benda-benda yang dihasilkan pada masa
bercocok tanam.
1) Kjokkenmoddinger
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa bercocok tanam,
manusia purba sudah tinggal menetap. Salah satu bukti adanya sisa-sisa
tempat tinggal itu ialah kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur). Istilah
ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken = dapur, modding = sampah).
Penemuan kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai Sumatera Timur
menunjukkan telah adanya penduduk yang menetap di pesisir pantai. Hidup
mereka mengandalkan dari siput dan kerang. Siput-siput dan kerang-kerang
itu dimakan dan kulitnya dibuang di suatu tempat. Selama bertahun-tahun,
ratusan tahun, atau ribuan tahun, bertumpuklah kulit siput dan kerang itu
menyerupai bukit. Bukit kerang inilah yang disebut kjokkenmoddinger.
Gambar 4.5
Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur
(Sumber : Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan I, halaman 40)
Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya, seperti
pebble (kapak genggam yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta
landasannya, alat-alat dari tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak.
133
2) Abris Sous Rosche
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous
rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam
batu karang. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batubatu
penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat
dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat
ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro,
dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).
Gambar 4.6
Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan
(Sumber : prehisto.ifrante.com/habitatmoy.htm)
3) Gerabah
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia
mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah di antaranya sebagai
tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu alat yang terbuat
dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut, gerabah
tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam,
bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni.
Cara pembuatan gerabah mengalami perkembangan dari mulai bentuk
yang sederhana hingga ke bentuk yang kompleks. Dalam bentuk yang
sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang digunakan
berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan
tangan. Teknik pembuatan semakin berkembang, pencetakan menggunakan
roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih baik bahkan lebih indah.
Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi gerabah
mulai dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada di antaranya
134
hiasan anyaman. Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu dengan cara
menempelkan agak keras selembar anyaman atau tenunan pada gerabah
yang masih basah sebelum gerabah dijemur. Kemudian gerabah dijemur
sampai kering dan dibakar. Berdasarkan bukti ini, para ahli menyimpulkan
bahwa pada masa ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan orang
mulai dapat menenun.
Gambar 4.7 Gerabah
(Sumber : itrademarket.com/all/gisj/o.html)
4) Kapak persegi
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk
kapak ini yaitu batu yang garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah
bidang segi panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain
yang termasuk dalam katagori kapak persegi seperti beliung atau pacul
untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil bernama tarah.
Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat
tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak
Persegi yaitu von Heine Geldern.
Gambar 4.8 Berbagai jenis kapak persegi
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 406)
Daerah-daerah tempat ditemukannya kapak persegi yaitu di Sumatra,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Batu api
135
dan chalcedon merupakan bahan yang dipakai untuk membuat kapak persegi.
Kapak persegi kemungkinan sudah menjadi barang yang diperjualbelikan.
Alat ini dibuat oleh sebuah pabrik tertentu di suatu tempat kemudian di
bawa keluar daerah untuk diperjualbelikan. Sistem jual-belinya masih sangat
sederhana, yaitu sistem barter. Adanya sistem barter tersebut, kapak persegi
banyak ditemukan di tempat-tempat yang tidak banyak ada bahan bakunya,
yaitu batu api.
Gambar 4.9 Kapak persegi yang belum dihaluskan
(Sumber : Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1, halaman 51)
5) Kapak lonjong
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan
pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu
garis penampang memperlihatkan sebuah bidang
yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk
kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang
agak lancip ditempatkan di tangkai dan di
ujung lainnya yang bulat diasah hingga tajam.
Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran
yang besar disebut dengan walzeinbeil dan
kleinbel untuk ukuran kecil. Kapak lonjong
masuk ke dalam kebudayaan Neolitihikum
Papua, karena jenis kapak ini banyak ditemukan
di Papua (Irian). Kapak ini ditemukan pula
di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram,
Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak.
Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong
ditemukan pula di negara lain, seperti Walzeinbeil
di temukan di Cina dan Jepang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan
kapak lonjong dapat memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu
dari timur mulai dari daratan Asia ke Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa,
Gambar 4.10
Kapak lonjong dari muka
dan samping
(Sumber : Soekmono, Sejarah
Kebudayaan Indonesia Jilid 1,
halaman 53)
136
terus ke timur. Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina memperkuat
pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran meluas sampai ke Melanesia.
6) Perhiasan
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan
dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar,
seperti hiasan kulit kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang
terbuat dari yang dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula yang
terbuat dari batu. seperti gelang, kalung, dan beliung.
Gambar 4.11 Berbagai perhiasan dari batu
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 409)
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan dengan cara, pertama batu dipukulpukul
sampai menjadi bentuk gepeng. Setelah itu kedua sisi yang rata
dicekungkan dengan cara dipukul-pukul pula, kedua cekungan itu bertemu
menjadi lobang. Untuk menghaluskannya, kemudian digosok-gosok dan
diasah sehingga membentuk suatu gelang. Bentuk gelang tersebut dari dalam
halus rata dan dari luar lengkung sisinya. Selain dipukul, cara lain untuk
membuat lobang pada gelang yaitu dengan cara menggunakan gurdi. Batu
yang bulat gepeng itu digurdi dari kedua belah sisi dengan sebuah gurdi
dari bambu. Setelah diberi air dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan
sebilah bambu lainnya diputar di atas muka batu sampai berlubang.
7) Pakaian
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok
tanam diperkirakan mereka telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan
untuk pakaian berasal dari kulit kayu. Daerah tempat ditemukan bukti
adanya pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa
tempat lainnya. Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit
kayu. Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang
akan dibuat.
137
c. Konsep kepercayaan dan bangunan megalit
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia pada zaman berburu
dan mengumpulkan makanan sudah mengenal kepercayaan. Kepercayaan
manusia ini mengalami perkembangan. Pada masa berburu dan mengumpulkan
makanan kepercayaan baru sebatas adanya penguburan. Kepercayaan ini
kemudian berkembang pada masa bercocok tanam dan perundagian. Bukti
peninggalan kepercayaan pada masa bercocok tanam yaitu ditemukannya
bangunan-bangunan batu besar yang berfungsi untuk penyembahan. Zaman
penemuan batu-batu besar ini disebut dengan zaman megalithikum.
Bangunan-bangunan batu yang dihasilkan pada zaman megalithikum
antara lain sebagai berikut.
1) Menhir
Menhir merupakan tiang atau tugu batu yang
dibuat untuk menghormati roh nenek moyang. Daerahdaerah
tempat ditemukannya menhir di Indonesia,
seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan,
dan Bali.
Gambar 4.12 Menhir
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 412)
2) Sarkofagus
Sarkofagus menyerupai peti mayat atau keranda yang bentuknya seperti
palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup. Benda ini terbuat dari batu
sehingga diperkirakan kehadiran sarkofagus sezaman dengan zaman megalithikum
(zaman batu besar). Adanya sarkofagus ini menandakan kepercayaan pada
waktu itu, bahwa orang yang meninggal perlu dikubur dalam peti mayat. Di
daerah Bali, sarkofagus ini banyak ditemukan.
3) Dolmen
Tempat lain untuk melakukan pemujaan pada arwah nenek moyang
pada waktu itu ialah Dolmen. Dolmen ini terbuat dari batu besar yang
berbentuk meja. Meja ini berkaki yang menyerupai menhir. Dolmen berfungsi
138
sebagai tempat sesaji dalam rangka pemujaan kepada roh nenek moyang.
Di beberapa tempat, dolmen berfungsi sebagai peti mayat, sehingga di
dalam dolmen terdapat tulang belulang manusia. Sebagai bekal untuk yang
meninggal, di dalam dolmen disertakan benda-benda seperti periuk, tulang
dan gigi binatang, dan alat-alat dari besi.
Gambar 4.13 Dolmen
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan I halaman 75)
4) Kubur batu
Selain dolmen dan sarkofagus, ditemukan juga kubur batu yang fungsinya
sebagai peti mayat. Bedanya ialah kubur batu ini dibuat dari lempengan
batu, sedangkan dolmen dan sarkofagus dibuat dari batu utuh. Di daerah
Jawa Barat, penemuan kubur batu banyak ditemukan.
Gambar 4.14 Sarkofagus
(Sumber : Marwati Djoened
Poesponegoro, Sejarah Nasional
Indonesia 1, halaman 418)
Gambar 4.15
Sebuah keranda batu berisi
kerangka manusia
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan I halaman 73)
139
5) Waruga
Waruga adalah kubur batu berbentuk kubus atau bulat. Bentuknya
sama seperti dolmen dan sarkofagus, yaitu dibuat dari batu yang utuh. Di
Sulawesi Tengah dan Utara banyak ditemukan waruga.
6) Punden berundak-undak
Bangunan lainnya yang dihasilkan pada zaman megalithikum adalah
punden berundak-undak. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan
yang berupa batu tersusun secara bertingkat-tingkat. Di tempat punden
berundak-undak biasanya terdapat menhir. Daerah ditemukannya punden
berundak-undak antara lain di Lebak Sibedug (Banten Selatan) dan Ciamis
(Jawa Barat).
Gambar 4.18
Punden berundak-undak dari Lebak Sibedug (Banten Selatan)
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan I halaman 76)
7) Arca
Arca ini terbuat dari batu yang berbentuk patung binatang atau manusia.
Tempat ditemukannya arca-arca antara lain di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan.
Gambar 4.16
Waruga atau kubur batu banyak
ditemui di daerah Minahasa
(sumber : www.baliautrement.com/
minahasa.waruga.2jpg)
Gambar 4.17 Kubur batu
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan I halaman 74)
140
Gambar 4.19
Batu Gajah, di punggung penunggangnya (kiri atas) nampak sebuah nekara
yang diikat dengan tali
(Sumber: Lukisan Sejarah, halaman 8)
3. Masa perundagian
Zaman perundagian adalah zaman di mana manusia sudah mengenal
pengolahan logam. Hasil-hasil kebudayaan yang dihasilkan terbuat dari
bahan logam. Adanya penggunaan logam, tidaklah berarti hilangnya penggunaan
barang-barang dari batu. Pada masa perundagian, manusia masih juga
menggunakan barang-barang yang berasal dari batu.
Penggunaan bahan dari logam tidak begitu tersebar luas sebagaimana
halnya bahan dari batu. Persediaan logam sangat terbatas. Hanya orangorang
tertentu yang memiliki barang-barang dari logam. Kemungkinan hanya
orang-orang yang mampu membeli bahan-bahan tersebut. Keterbatasan
persediaan tersebut memungkinkan barang-barang dari logam diperjualbelikan.
Adanya perdagangan tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pada
zaman perundagian telah mengadakan hubungan dengan luar.
a. Sistem sosial-ekonomi
Masyarakat pada masa perundagian diperkirakan sudah mengenal pembagian
kerja. Hal ini dapat dilihat dari pengerjaan barang-barang dari logam. Pengerjaan
barang-barang dari logam membutuhkan suatu keahlian, tidak semua orang
dapat mengerjakan pekerjaan ini. Selain itu, ada orang-orang tertentu yang
memiliki benda-benda dari logam. Dengan demikian pada masa perundagian
sudah terjadi pelapisan sosial.Bahkan bukan hanya pembuat dan pemilik,
tetapi adanya pedagang yang memperjualbelikan logam.
Pada masa perundagian kehidupan sosialnya sudah mengenal sistem
kemasyarakatan yang sudah teratur. Masyarakat hidup diikat oleh normanorma
dan nilai. Norma-norma dan nilai-nilai ini diciptakan oleh mereka
141
sendiri, disepakati dan dijadikan pegangan dalam menjalan kehidupannya.
Sebagaimana layaknya dalam suatu sistem kemasyarakatan, pada masa ini
sudah ada pemimpin dan ada masyarakat yang dipimpin. Struktur ini dikatakan
ada kalau dilihat dari penemuan alat-alat untuk penguburan. Kuburan-kuburan
yang ada terdapat kuburan yang diiringi dengan berbagai bekal bagi mayat.
Model kuburan ini diperkirakan hanya untuk para pemimpin.
Sistem mata pencaharian pada masa perundagian sudah mengalami
kemajuan. Keterikatan terhadap bahan-bahan makanan yang disediakan
oleh alam mulai berkurang. Mereka mampu mengolah sumber-sumber daya
yang ada di alam untuk dijadikan bahan makanan. Cara bertani berhuma
sudah mulai berubah menjadi bertani dengan bersawah. Ada perbedaan
dalam cara bertani berhuma dengan bersawah. Dalam bertani berhuma ada
kebiasaan meninggalkan tempat olahannya, apabila tanahnya sudah tidak
subur, jadi hidup mereka pun tidak menetap secara permanen. Sedangkan
dalam bertani bersawah tidak lagi berpindah, mereka tinggal secara permanen.
Hal ini dikarenakan pengolahan tanah pertanian sudah menggunakan pupuk
yang membantu kesuburan tanah. Dengan demikian masyarakat tidak akan
meninggalkan lahan garapannya. Bukti adanya kehidupan bersawah yaitu
dengan ditemukannya alat-alat pertanian dari logam, seperti bajak, pisau,
dan alat-alat yang lainnya.
b. Benda-benda yang dihasilkan
Benda-benda yang dihasilkan pada zaman perundagian mengalami kemajuan
dalam hal teknik pembuatan. Teknik pembuatan barang dari logam yang
utama adalah melebur, yang kemudian dicetak sesuai dengan bentuk yang
diinginkan. Ada dua teknik pencetakan logam yaitu bivolve dan a cire
perdue. Teknik bivolve dilakukan dengan cara menggunakan cetakan-cetakan
batu yang dapat dipergunakan berulang kali. Cetakan terdiri dari dua bagian
(kadang-kadang lebih, khususnya untuk benda-benda besar) diikat. Ke
dalam rongga cetakan itu dituangkan perunggu cair. Kemudian cetakan itu
dibuka setelah logamnya mengering.
Teknik a cire perdue dikenal pula dengan istilah cetak lilin. Cara yang
dilakukan yaitu dengan membuat cetakan model benda dari lilin. Cetakan
tersebut kemudian dibungkus dengan tanah liat. Setelah itu tanah liat yang
berisi lilin itu dibakar. Lilin akan mencair dan keluar dari lubang yang telah
dibuat. Maka terjadilah benda tanah liat bakar yang berongga. Bentuk
rongga itu sama dengan bentuk lilin yang telah cair. Setelah cairan logam
dingin, cetakan tanah liat dipecah dan terlihatlah cairan logam yang telah
membeku membentuk suatu barang sesuai dengan rongga yang ada dalam
tanah liat.
142
Pada masa perundagian dihasilkan benda-benda yang terbuat dari perunggu,
yaitu sebagai berikut.
1) Bejana
Bentuk bejana perunggu seperti gitar Spanyol
tetapi tanpa tangkainya. Pola hiasan benda ini berupa
pola hias anyaman dan huruf L.Bejana ditemukan di
daerah Madura dan Sumatera.
Gambar 4.20 Bejana perunggu dari Madura
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 432)
2) Nekara
Nekara ialah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di
bagian tengahnya dan sisi atapnya tertutup. Pada nekara terdapat pola hias
yang beraneka ragam. Pola hias yang dibuat yaitu pola binatang, geometrik,
gambar burung, gambar gajah, gambar ikan laut, gambar kijang, gambar
harimau, dan gambar manusia. Dengan hiasan yang demikian beragam,
maka nekara memiliki nilai seni yang cukup tinggi.
Beberapa tempat ditemukannya nekara yaitu Bali, Sumatra, Sumbawa,
Roti, Leti, Selayar, Alor, dan Kepulauan Kei. Di Bali ditemukan nekara
Gambar 4.21
Nekara dari kepulauan Selayar
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan I halaman 64)
Gambar 4.22
Moko dari Alor
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan I halaman 65)
143
yang bentuknya besar dan masyarakat di sana mempercayai bahwa benda
itu jatuh dari langit.Nekara tersebut disimpan di sebuah pura (kuil) di desa
Intaran daerah Pejeng. Puranya diberi nama Pura Panataran Sasih (bulan).
Di Alor banyak ditemukan nekara dengan bentuk kecil tapi memanjang.
Nekara ini disebut moko. Hiasan-hiasan yang ada pada nekara di Alor ini
bergambar, bentuk hiasannya ada yang merupakan hiasan jaman Majapahit.
Hubungan antarwilayah di Indonesia diperkirakan sudah terjadi pada
masa perundagian dengan ditemukannya nekara. Hal ini dapat dilihat dari
Nekara yang berasal dari Selayar dan Kepulauan Kei dihiasi gambargambar
gajah, merak, dan harimau. Sedangkan binatang yang tercantum
pada nekara tersebut tidak ada di di daerah itu. Hal ini menunjukkan
bahwa nekara berasal dari daerah Indonesia bagian barat atau dari benua
Asia.
Hal yang menarik lagi ditemukannya nekara di Sangean. Nekara yang
ditemukan di daerah ini bergambar orang menunggang kuda beserta pengiringnya
yang memakai pakaian orang Tartar. Dengan adanya gambar tersebut menunjukkan
terjadi hubungan bangsa Indonesia pada saat itu dengan Cina. Jadi, hubungan
antara Indonesia dengan Cina sudah ada sejak zaman perunggu. .
3) Kapak corong
Kapak ini disebut kapak corong karena bagian atasnya berbentuk
corong yang sembirnya belah. Benda ini terbuat dari logam. Ke dalam
corong itu dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku pada bidang kapak.
Kapak tersebut disebut juga kapak sepatu, karena hampir mirip dengan
sepatu bentuknya. Ukuran kapak kecil itu beragam, ada yang kecil dan
sangat sederhana, besar memakai hiasan, pendek besar, bulat, dan panjang
sisinya. Ada kapak corong yang satu sisinya disebut candrasa.
Tempat ditemukannya kapak tersebut yaitu di Sumatra Selatan, Bali,
Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar, dan Irian dekat danau Sentani.
Gambar 4.23 Berbagai macam kapak corong
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 426)
144
Kapak yang beragam bentuknya tersebut, tidak semua digunakan
sebagaimana layaknya kegunaan kapak sebagai alat bantu yang fungsional.
Selain itu, kapak juga digunakan sebagai barang seni dan alat upacara,
seperti candrasa. Di Yogyakarta, ditemukan candrasa yang dekat tangkainya
terdapat hiasan gambar seekor burung terbang sambil memegang candrasa.
Gambar 4.24 Candrasa panjangnya kira-kira satu meter
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan I halaman 62)
4) Perhiasan
Manusia pada perundagian sudah memiliki apresiasi yang cukup terhadap
seni. Hal ini dibuktikan ditemukannya berbagai hiasan. Hiasan yang ditemukan
berupa gelang tangan, gelang kaki, cincin, kalung, dan bandul kalung. Bendabenda
tersebut ada yang diberi pola hias dan ada yang tidak. Benda yang
diberi pola hias seperti cincin atau gelang yang diberi pola hias geometrik.
Ditemukan pula cicin yang berfungsi bukan untuk perhiasan, tetapi sebagai
alat tukar. Cincin yang seperti ini ukurannya sangat kecil bahkan tidak bisa
dimasukkan ke dalam jari anak. Tempat-tempat ditemukannya benda-benda
tersebut antara lain Bogor, Malang, dan Bali.
Perhiasan-perhiasan lainnya yang ditemukan pada masa perundagian
yaitu manik-manik. Pada masa prasejarah manik-manik banyak digunakan
untuk upacara, bekal orang yang meninggal (disimpan dalam kuburan), dan
alat tukar. Pada masa perundagian, bentuk manik-manik mengalami perkembangan.
Pada zaman prasejarah lebih banyak terbuat dari batu, sedangkan pada
masa ini sudah dibuat dari kulit kerang, batu akik, kaca, dan tanah-tanah
yang dibakar. Manik-manik memiliki bentuk yang beragam, ada yang berbentuk
silindris, bulat, segi enam, oval, dan sebagainya. Di Indonesia beberapa
daerah yang merupakan tempat ditemukannya manik-manik antara lain Bogor,
Sangiran, Pasemah, Gilimanuk, dan Besuki.
145
5) Perunggu
Pada masa perundagian dihasilkan pula arca-arca yang terbuat dari
logam perunggu. Dalam pembuatan arca ini dilakukan pula dengan menuangkan
cairan logam. Patung yang dibuat berbentuk beragam, ada yang berbentuk
manusia dan binatang. Posisi manusia dalam bentuk arca itu ada yang
sedang menari, berdiri, naik kuda dan sedang memegang panah. Arca binatang
itu ada yang berupa arca kerbau yang sedang berbaring, kuda sedang
berdiri, dan kuda dengan pelana. Tempat ditemukan arca-arca tersebut
yaitu di Bangkinang (Provinsi Riau), Lumajang, Palembang, dan Bogor.
Gambar 4.27
Arca Perunggu dari Bangkinang, Riau - Sumatera
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1, halaman 433)
Gambar 4.25
Gelang dan cincin dari perunggu
ditemukan di Pasemah, Sumatera Selatan
(Sumber : Marwati Djoened Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia 1,
halaman 433)
Gambar 4.26
Manik-manik
(Sumber : R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan I halaman 71)
146
c. Sistem kepercayaan
Pada masa perundagian memiliki sistem kepercayaan yang tidak jauh
berbeda dengan masa sebelumnya. Praktek kepercayaan yang mereka lakukan
masih berupa pemujaan terhadap leluhur. Hal yang membedakannya adalah
alat yang digunakan untuk praktek kepercayaan. Pada masa perundagian,
benda-benda yang digunakan untuk praktek kepercayaan biasanya terbuat
dari bahan perunggu.
Sistem kepercayaan yang dilakukan oleh manusia pada zaman perundagian
masih memelihara hubungan dengan orang yang meninggal. Pada masa ini,
praktek penguburan menunjukkan stratifikasi sosial antara orang yang terpandang
dengan rakyat biasa. Kuburan orang-orang terpandang selalu dibekali dengan
barang-barang yang mewah dan upacara yang dilakukan dengan cara diarak
oleh orang banyak. Sebaliknya, apabila yang meninggal orang biasa, upacaranya
sederhana dan kuburan mereka tanpa dibekali dengan barang-barang mewah.
Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami perkembangan.
Mereka melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan
tetapi berkaitan dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan.
Misalnya ada upacara khusus yang dilakukan oleh masyarakat pantai khususnya
para nelayan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini, yaitu
penyembahan kekuatan yang dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa
inilah yang mereka anggap memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang
di daerah pedalaman atau pertanian ada upacara persembahan kepada
kekuatan yang dianggap sebagai pemberi berkah terhadap hasil pertanian.
C. KEBUDAYAAN DONGSON, SAHUYINH, DAN INDIA
Pada zaman pra sejarah, diperkirakan
kebudayaan Indonesia sudah memiliki hubungan
dengan kebudayaan luar. Hubungan dengan
luar ini memberikan perkembangan terhadap
kebudayaan yang ada di Indonesia. Bukti
yang menunjukkan adanya hubungan tersebut
dapat dilihat dari alat-alat yang dihasilkan.
Kegiatan 4.2
Buatlah dalam bentuk tabel mengenai benda-benda yang dihasilkan mulai dari
zaman mengumpulkan makanan hingga zaman megalithikum.
Kata-kata kunci
• kebudayaan Dongson
• kebudayaan sahuyinh
• kebudayaan India
147
Alat-alat yang dihasilkan memilik persamaan dengan yang ada di Indonesia.
Kebudayaan luar yang memiliki kesamaan di antaranya yaitu kebudayaan
Dongson, Sahuyinh, dan India.
Perkembangan kebudayaan zaman perundagian dipengaruhi oleh kebudayaan
Dongson. Kebudayaan yang dipengaruhinya terutama alat-alat yang dibuat
dari perunggu. Penemuan kebudayaan Dongson pertama kali dilakukan
oleh Payot. Pada tahun 1924, dia mengadakan penggalian kuburan di Dongson
(Vietnam). Benda-benda yang ditemukan dalam penggalian ini antara lain
nekara, bejana, ujung tombak, kapak, dan gelang-gelang. Ternyata, bendabenda
yang ditemukan tersebut memiliki kesamaan dengan yang ditemukan
di Indonesia; bejana serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura,
belati di Flores. Dengan demikian antara Dongson dan Indonesia ada hubungan
budaya
Perkembangan kebudayaan Sahuyinh berkaitan dengan pembuatan gerabah.
Pembuatan gerabah pada zaman perundagian masih dianggap penting, walaupun
sudah berkembang teknik penuangan logam. Sahuyinh merupakan kompleks
penemuan gerabah di Vietnam. Karakteristik gerabah yang ditemukan di
Sahuyinh yaitu memiliki teknik “tatap-batu”. Tatap itu dibalut dengan tali
(digulung dengan tali) sehingga hiasan yang dihasilkan oleh tatap berupa
pola tali. Pola hias yang dimilikinya yaitu berupa pola tali, pola keranjang
(anyaman), pola geometrik yang dilakukan dengan menggores, pengumpaman
permukaan gerabah, dan pengolesan gerabah dengan warna merah dan
putih. Gerabah kadang-kadang dihias dengan cara menekankan pinggiran
kulit kerang pada permukaan yang masih basah. Pola-pola geometrik seringkali
disusun dalam komposisi pita-pita yang horizontal atau vertikal pada dinding
gerabah. Teknik pembuatannya dengan pemakaian roda pemutar.
Gerabah yang ditemukan di Sahuyinh memiliki kesamaan pola yang
ditemukan di Indonesia. Kesamaan pola tersebut terutama terdapat pada
penemuan di kompleks gerabah Buni Bekasi, Gilimanuk di Bali, dan Kalumpang
pinggir sungai Karama di Sulawesi.
Kebudayaan India belum begitu menyebar luas di Indonesia pada masa
prasejarah.Penyebaran kebudayaan India secara luas baru dimulai pada
zaman sesudah prasejarah, yaitu pada zaman Hindu-Buddha. Diduga kebudayaan
India berpengaruh pada zaman prasejarah yaitu pada kebudayaan kapak
lonjong.
Kegiatan 4.3
Buatlah dalam bentuk tabel nama-nama benda yang dihasilkan sebagai pengaruh
dari kebudayaan Dongson, Sahuyinh, dan India, dan sebutkan di mana bendabenda
itu ditemukan.
148
Keberadaan awal manusia di Indonesia tidak lepas dari keberadaan
awal manusia di muka bumi. Manusia pertama kali hidup di muka bumi
ketika bumi sudah mengalami perubahan-perubahan secara fisik dan alami.
Ketika perubahan bumi mulai stabil, manusia mulai menempatinya yaitu
pada zaman kwarter. Kehidupan manusia di bumi harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan alam sehingga terjadilah evolusi dalam kehidupan manusia
baik secara fisik maupun nonfisik. Kemampuan manusia dalam beradaptasi
dengan alam berakibat terjadinya perkembangan kehidupan manusia. Adaptasi
manusia terhadap alam, melahirkan berbagai teknologi yaitu alat-alat yang
dijadikan manusia untuk membantu hidupnya dalam beradapatasi dengan
alam. Teknologi atau peralatan manusia mengalami perkembangan mulai
dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Perkembangan kehidupan
manusia dalam hubungan dengan alam mulai dari manusia tergantung terhadap
alam sampai dengan kemampuan mengolah alam.
Abris Sous Rosche : tempat yang berupa gua-gua yang menyerupai
ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup
untuk memberikan perlindungan dari hujan dan
panas.
A cire perdue : suatu teknik percetakan dengan membuat cetakan
model benda dari lilin.
Arkeozoikum : suatu periode kehidupan di mana di bumi belum
ada tanda-tanda kehidupan, bumi ini masih
merupakan gas yang panas sehingga tidak
memungkinkan untuk makhluk hidup dapat
bertahan hidup.
Candrasa : kapak corong yang panjang satu sisinya.
Chopper : kapak genggam yang terbuat dari batu dan tidak
bertangkai.
Dolmen : meja batu yang berkakikan menhir, berfungsi
sebagai tempat sesaji atau pemujaan kepada roh
nenek moyang.
RINGKASAN
GLOSARIUM
149
Evolusi : sebuah teori tentang asal muasal manusia yang
menyatakan bahwa manusia mengalami perubahan
fisik dari yang bentuk sederhana hingga menjadi
bentuk yang sempurna atau manusia modern.
Flakes : alat-alat serpih digunakan sebagai pisau, gurdi,
atau penusuk.
Glasial : suatu masa geologi dalam kala plestosen yang
dingin sekali karena banyaknya lapisan es
menutupi muka bumi, pada zaman glasial,
permukaan laut menurun.
Interglasial : zaman yang panas di antara keempat zaman es
(glasial), suhu yang memanas ini mengakibatkan
es mencair sehingga permukaan air laut naik
kembali.
Kenozoikum : suatu periode kehidupan yang ditandai dengan
dimulainya ada kehidupan binatang sejenis mamalia
dan juga mulai adanya manusia.
Kjokkenmoddinger : sisa-sisa tempat tinggal yang berasal dari kulitkulit
siput dan kerang yang dibuang itu selama
bertahun-tahun, mungkin ratusan atau ribuan tahun,
menumpuk yang akhirnya menjelma menjadi bukit
kerang dengan ketinggian dan lebarnya beberapa
meter.
Kubur batu : dibuat dari lempengan batu, yang disusun menjadi
peti yang fungsinya sama seperti sarkofagus.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan : suatu periode kehidupan
manusia yang kehidupannya berpindah-pindah
tidak mengolah alam.
Masa bercocok tanam : suatu periode kehidupan manusia yang ditandai
dengan kemampuan manusia mengolah alam dan
hidup menetap.
Masa perundagian : suatu yang zaman yang banyak menghasilkan
benda-benda yang berasal dari logam.
Materialisme : sebuah aliran filsafat yang mengatakan bahwa
hakikat yang ada adalah materi.
Megalithikum : zaman batu yang menghasilkan benda-benda dan
bangunan dari batu yang berfungsi untuk
penyembahan atau kepercayaan.
150
Menhir : tiang atau tugu batu tunggal yang didirikan untuk
menghormati roh nenek moyang.
Mesolithikum : zaman batu madya, menghasilkan alat-alat dari
batu sudah mulai dihaluskan tetapi masih kasar.
Mesozoikum : suatu periode kehidupan yang ditandai dengan
adanya kehidupan binatang-binatang reptil dan
amfibi dalam ukuran yang besar.
Moko : nekara dengan bentuk kecil tapi memanjang.
Nekara : semacam berumbung dari perunggu yang
berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atapnya
tertutup.
Neolithikum : zaman batu muda, sudah menghasilkan alat-alat
dari yang sudah dihaluskan tidak kasar lagi.
Nomaden : suatu cara hidup pada sekelompok manusia di
masa lalu yang berpindah-pindah tidak memiliki
tempat tinggal yang tetap.
Palaeolithikum : zaman batu tua, menghasilkan alat-alat dari batu
yang masih kasar.
Palaeozoikum : suatu periode kehidupan di mana keadaan
temperatur bumi mulai menurun dan membentuk
kerak bumi, sudah mulai ada kehidupan terutama
mahluk yang bersel satu.
Punden berundak-undak : bangunan batu yang tersusun secara bertingkattingkat
yang berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Sarkofagus : seperti juga dolmen yang berfungsi sebagai peti
mayat, di dalamnya terdapat tulang belulang
manusia bersama bekalnya.
Waruga : kubur batu berbentuk kubus atau bulat, dibuat
dari batu yang utuh.



Kepulauan Indonesia termasuk bagian dari asal-usul dan persebaran
manusia di dunia. Untuk memahami hal tersebut, kamu harus memahami
bagaimana teori tentang evolusi manusia. Teori ini berbicara tentang bagaimana
perubahan fisik manusia dan bagaimana asal usulnya. Teori evolusi manusia
berkaitan dengan jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia.
Ada berbagai teori tentang asal-usul manusia dan bagaimana persebarannya.
A. TEORI EVOLUSI MANUSIA
Sebelum membahas mengenai asal-usul
manusia Indonesia, terlebih dahulu kita bahas
mengenai teori evolusi. Teori evolusi membahas
tentang asal-usul makhluk manusia beserta
perkembangan fisik manusia. Teori evolusi
merupakan kajian yang berakar pada filsafat
materialistis. Filsafat materialisme berkembang
dan menyebar luas pada abad ke-19. Filsafat materialisme berusaha menjelaskan
penciptaan alam ini semata-mata karena faktor-faktor yang bersifat materi.
Para pendukung filsafat ini berpandangan bahwa segala sesuatu muncul
tidak melalui proses penciptaan, melainkan melalui sebuah peristiwa kebetulan
yang kemudian mencapai kondisi teratur. Pada pertengahan abad ke-19,
filsafat materialisme melahirkan teori evolusi.
Tokoh yang mengemukakan teori evolusi ialah seorang naturalis yang
berasal dari Inggris, yaitu Charles Robert Darwin (1809-1882). Ia memiliki
ketertarikan yang kuat pada alam dan makhluk hidup. Minat tersebut pada
akhirnya mendorong dia untuk bergabung dalam ekspedisi pelayaran dengan
sebuah kapal bernama H.M.S. Beagle, yang berangkat dari Inggris tahun
1832. Dia mengarungi berbagai belahan dunia selama lima tahun. Pengamatan
alam yang dia lakukan melalui perjalanan tersebut menumbuhkan perasaan
takjub pada dirinya dengan melihat begitu banyaknya ragam spesies makhluk
hidup. Fokus perhatiannya terutama ditujukan pada jenis-jenis burung finch
di Kepulauan Galapagos. Ia mengira bahwa variasi pada paruh burungburung
tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitatnya.
Dengan pemikiran ini, ia menduga bahwa asal-usul kehidupan dan spesies
berdasar pada konsep “adaptasi terhadap lingkungan”. Menurut Darwin,
aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah dan beragam
melainkan berasal dari nenek moyang yang sama. Kemudian muncul berbagai
jenis dan ragam makhluk hidup karena proses adaptasi mereka yang berbeda
akibat kondisi alam yang berbeda. Darwin mengemukakan gagasan yang
menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka
dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi
Kata-kata kunci
• Evolusi manusia
• Missing Link
• evolusi multiregional
199
berikutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi
dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda
dengan nenek moyangnya. Menurut Darwin, manusia adalah hasil paling
maju dari mekanisme ini.
Darwin menamakan proses ini sebagai
“evolusi melalui seleksi alam” (survival
of the fittest). Ia kemudian mempublikasikan
pandangannya ini dalam bukunya yang
berjudul “The Origin of Species, By Means
of Natural Selection” pada tahun 1859.
Meskipun demikian, nampaknya Darwin
sendiri mempunyai beberapa keraguan dalam
pengungkapan teorinya tersebut. Hal ini
terungkap dalam salah satu bab yang
dituangkannya dalam buku tersebut yang
diberi judul “Difficulties of the Theory”.
Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan
fosil dan organ-organ rumit makhluk hidup
(misalnya mata) yang tidak mungkin
dijelaskan dengan konsep kebetulan, dan
naluri makhluk hidup. Darwin berharap
kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh
penemuan-penemuan baru.
Walau bagaimanapun, nampaknya pada saat penyusunan teorinya, Darwin
diilhami oleh para ahli biologi evolusionis sebelumnya, terutama seorang
ahli biologi Prancis, Lamarck. Menurut Lamarck, makhluk hidup mewariskan
ciri-ciri yang mereka dapatkan selama hidupnya dari satu generasi ke generasi
berikutnya, sehingga terjadilah evolusi. Sebagai contoh, jerapah berevolusi
dari binatang yang menyerupai antelop. Perubahan itu terjadi dengan memanjangkan
leher mereka sedikit demi sedikit dari generasi ke generasi ketika berusaha
menjangkau dahan yang lebih tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin
menggunakan hipotesis Lamarck tentang “pewarisan sifat-sifat yang diperoleh”
sebagai faktor yang menyebabkan makhluk hidup berevolusi.
Charles Darwin menulis dua buah buku yang berjudul The Origin of
Species (1859) dan The Descent of Man (1871). Melalui kedua buku
tersebut, Darwin menyatakan bahwa semua jenis makhluk hidup sekarang
ini termasuk juga manusia, berasal dari satu jenis makhluk bersel satu.
Lambat laun mereka berkembang menjadi berjenis-jenis makhluk hidup.
Binatang yang paling maju ialah sejenis kera, dengan mengalami proses
struggle of life, sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Perubahan
tersebut pada akhirnya mencapai kesempurnaan, sehingga mengarah pada
Gambar 6.1
Charles Darwin penemu teori
evolusi manusia
(Sumber: www.knowprose.com)
200
wujud manusia seperti sekarang ini. Silakan kamu diskusikan dengan temanmu,
apakah kamu setuju dengan pendapat Darwin bahwa manusia sekarang ini
terwujud dari proses evolusi? Apakah kamu juga setuju kalau manusia
berasal dari makhluk sejenis kera? Kemukakan pendapatmu!
Di dalam proses evolusi manusia terdapat beberapa proses penting
yang terjadi. Pertama, adalah sikap tubuh dan cara bergerak. Sikap tegak
merupakan fase yang sangat penting dan memberikan pengaruh besar pada
proses evolusi selanjutnya. Sikap tegak dimulai dengan kemampuan duduk
tegak, berjalan tegak, dan berakhir dengan berdiri tegak untuk waktu yang
lama. Kemampuan berdiri tegak mempengaruhi pembebasan tangan dari
tugas menunjang badan. Akibatnya, tangan dapat digunakan untuk melakukan
berbagai pekerjaan yang sebagian besar pekerjaannya berhubungan dengan
membuat dan mempergunakan alat, menyelidiki lingkungan, mencari, membawa,
mempersiapkan dan menyuap makanan, memelihara kebersihan badan,
mempertahankan diri, dan mengasuh anak-anak. Dari sini kita mulai melihat
perbedaan antara manusia dengan hewan primata lainnya; mereka menggunakan
mulut untuk melakukan pekerjaan seperti itu, tetapi manusia melakukannya
dengan tangan.
Kedua, evolusi kepala termasuk di dalamnya adalah otak. Evolusi
kepala berhubungan erat dengan evolusi muka sebagai bagian teratas sistem
pencernaan dan pernapasan serta evolusi otak. Perubahan makanan dan
cara mengolahnya mempengaruhi struktur mulut sebagai alat pengunyah.
Apalagi setelah ditemukannya api semakin menambah kemajuan manusia
dalam mengolah makanan. Akibatnya ialah pekerjaan mengunyah semakin
berkurang, yang selanjutnya mengakibatkan reduksi alat pengunyah. Gigigigi
pipi mengecil, demikian pula rahang dan otot-ototnya. Peranan alat
pembau semakin berkurang, yang berpengaruh terhadap fungsi bagian otak
yang berhubungan dengan pembauan. Sementara di sisi lain, volume otak
semakin membesar dan berpengaruh pada berkembangnya keinginan dan
prakarsa serta pengendaliannya, kepribadian, daya simak, pemikiran, dan
asosiasi serta integrasi pengalaman.
Evolusi yang ketiga berkaitan dengan perkembangan biososial manusia.
Evolusi pada aspek ini menyangkut tiga hal penting, yaitu: pembuatan alat,
organisasi sosial, dan komunikasi dengan bahasa. Evolusi dalam perubahan
sikap tubuh mempengaruhi pembebasan tangan dari pekerjaan menumpu
badan. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan semakin berkembangnya
kemampuan otak untuk berpikir. Dampaknya ialah timbulnya kepandaian
baru dalam pemakaian dan pembuatan alat-alat dari kayu, batu, dan sebagainya.
Kepandaian ini menimbulkan perubahan dalam cara mencari makan dan
mengolah makanan. Kemungkinan berburu binatang-binatang besar mulai
ada dan ini perlu dilakukan secara berkelompok. Bekerja sama secara
201
kelompok tentunya memerlukan pengorganisasian dan penggunaan isyaratisyarat
dalam mengatur siasat bersama. Inilah yang pada akhirnya mendorong
terciptanya komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal sebab komunikasi
akan sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan secara berkelompok/
bersama.
Teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin meskipun dalam
beberapa hal mengalami perdebatan, tetapi masih tetap dipercaya oleh
banyak orang. Para ilmuwan maupun masyarakat awam mempercayai bahwa
sebelum manusia mencapai bentuknya seperti sekarang ini, manusia telah
mengalami proses evolusi yang sangat panjang. Dari bentuk yang sangat
sederhana sampai pada bentuk sekarang ini yang merupakan bentuk manusia
modern.
Teori Darwin tentang asal muasal manusia yang berasal dari makhluk
sejenis kera perlu mendapat pembuktian. Artinya, untuk sampai pada bentuk
manusia seperti sekarang ini haruslah ada sejenis makhluk peralihan yang
dapat menjembatani antara kera dengan manusia. Makhluk tersebut tentunya
secara fisik dan perkembangan otak serta biososial lainnya mencerminkan
peralihan dari makhluk sejenis kera menuju bentuk seperti manusia sekarang
ini. Pada kurun waktu beberapa tahun makhluk ini tidak dapat ditemukan
sehingga kemudian dikenal konsep missing link yang artinya terputusnya
rantai yang dapat menghubungkan antara makhluk awal dengan manusia
modern. Pada akhirnya, banyak orang meragukan teori yang dikemukakan
oleh Darwin. Untuk membuktikan kebenaran teori Darwin, perlu ditemukan
terlebih dahulu makhluk peralihan tadi.
Missing link pada akhirnya dapat dipecahkan oleh penemuan fosil
yang ditemukan oleh Eugene Dubois di daerah Trinil, Jawa Timur, pada
tahun 1891. Fosil tengkorak manusia yang kemudian diberi nama Pithecanthropus
Erectus ini diklaim oleh Dubois sebagai makhluk peralihan dari kera menuju
manusia. Akan tetapi nampaknya keyakinan Dubois ini pada akhirnya dapat
diruntuhkan dengan ditemukannya fosil lain, yaitu Meganthropus Palaeojavanicus,
yang diperkirakan usianya lebih tua dibandingkan dengan Pithecanthropus
Erectus.
Melihat fakta yang telah dikemukakan di atas, apa yang kemudian
terlintas dalam pikiranmu? Dalam ilmu pengetahuan, runtuhnya suatu pendapat,
keyakinan ataupun teori yang sebelumnya sudah diyakini oleh banyak orang
merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan ilmu pengetahuan terus
berkembang sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan manusia itu sendiri.
Kita dapat melihat dari pernyataan di atas yang memperlihatkan bagaimana
keyakinan Dubois dapat diruntuhkan setelah ditemukannya bukti-bukti baru.
Demikian juga dengan teori Darwin, terutama yang menyangkut asal muasal
manusia yang diyakininya berasal dari makhluk sejenis kera. Akhir-akhir
202
ini banyak orang yang mulai meragukan kebenaran teori Darwin. Salah
satu contohnya adalah Harun Yahya yang meluncurkan teori terbaru tentang
runtuhnya teori evolusi Darwin.
Meskipun demikian, nampaknya pertanyaan tentang asal-usul manusia
modern masih menjadi pertanyaan besar yang harus kita jawab. Kapankah
dimulainya keberadaan manusia modern? Bagaimana terjadinya? Terjadi
secara lambat laun dan dimulai sejak dulu kala, ataukah dengan cepat dan
baru terjadi akhir-akhir ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menjadi
perdebatan yang hangat di kalangan para ilmuwan. Untuk menjawab tentang
asal-usul manusia memang hanya bisa dibuktikan dari temuan fosil-fosil.
Nampaknya konsep evolusi masih tetap kuat dipertahankan dalam merangkai
sejarah asal-usul manusia.
Ada dua teori yang berhubungan dengan perkembangan manusia modern
(Homo Sapiens). Teori pertama dikenal dengan nama “evolusi-multiregional”.
Teori memandang asal-usul manusia modern sebagai suatu fenomena yang
mencakup seluruh dunia. Pada prinsipnya, manusia modern berasal dari
kerabat yang sama, yaitu dari jenis “the java man” (Homo Erectus).
Mereka menyebar secara bersamaan ke seluruh dunia dan baru kemudian
di tempatnya yang baru mereka melakukan proses evolusi sehingga mencapai
manusia modern.
Menurut hipotesis di atas, jenis manusia Neanderthal merupakan
sebagian hasil evolusi di tiga benua. Dari segi anatomi, jenis manusia Neanderthal
merupakan peralihan antara Homo Erectus dan Homo Sapiens modern di
Eropa, Timur Tengah dan Asia sebelah barat. Tren evolusi menuju status
biologis Homo Sapiens yang terjadi di seluruh dunia tersebut didorong
oleh lingkungan kebudayaan baru di tempat yang baru. Dengan berkembangnya
kebudayaan ke arah yang lebih kompleksitas, mendorong kemampuan otak
untuk semakin berkembang. Otak yang besar dan cerdas membawa kebudayaan
yang lebih kompleks, yang pada gilirannya menjadikan otak yang lebih
besar dan lebih cerdas lagi. Hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi
penyebarluasan perubahan genetis dengan cepat pada setiap populasi di
seluruh dunia.
Teori kedua yang bertentangan dengan teori pertama dikenal dengan
teori “out of Africa”. Teori tersebut berdasarkan hipotesis bahwa manusia
modern berasal dari satu daerah, yaitu dari Afrika. Manusia awal yang
hidup di Afrika lambat laun mengalami proses evolusi sehingga mencapai
bentuk manusia modern (Homo Sapiens). Kelompok-kelompok Homo Sapiens
modern ini kemudian bermigrasi dari Afrika menuju belahan bumi lainnya.
Kedatangan manusia modern ini lambat laun pada akhirnya menggantikan
populasi manusia pramodern yang ada. Teori ini dinamakan dengan teori
“out of Africa” karena Afrika Sub-Sahara telah diketahui sebagai tempat
203
yang paling memungkinkan berlangsungnya evolusi manusia modern yang
pertama.
Bukti-bukti penelitian genetika mengenai variasi DNA dalam inti sel
dan mitokondria manusia modern, ternyata lebih mendukung teori “out of
Africa”. Hasil penelitian terbaru dari para ilmuwan menunjukkan bahwa
semua manusia memiliki DNA yang nampak identik. Begitu identiknya sehingga
perbedaan genetis pada sekelompok simpanse bahkan bisa jadi lebih besar
daripada perbedaan genetis pada enam milyar manusia yang hidup saat ini.
Padahal dalam teori disebutkan bahwa manusia berpisah dengan simpanse
dalam satu garis keturunan sekitar 5 hingga 6 juta tahun lalu. Artinya,
manusia seharusnya memiliki cukup banyak waktu untuk mengembangkan
gen-gen yang berbeda seperti halnya simpanse. Lalu mengapa penelitian
hanya mendapatkan gen-gen yang identik pada manusia?
Jawaban atas pertanyaan di atas, dikatakan para ilmuwan, adalah karena
populasi manusia pernah berkurang hingga sedemikian kecil. Manusia modern
akhirnya hanya diturunkan oleh segelintir orang sehingga gen mereka serupa.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini pernah dipublikasikan di American
Journal of Human Genetics. Kesimpulan ini seolah juga membenarkan
teori “Out of Africa” yang menyebutkan bahwa manusia modern berasal
dari satu keturunan di Afrika. Dipercaya, populasi manusia yang tinggal
2.000 jiwa itu berdiam di Afrika, berkembang, baru kemudian menyebar
ke seluruh penjuru dunia.
Bukti terbaru lainnya mengenai manusia modern yang berevolusi dari
Afrika pernah dimuat dalam harian KOMPAS tanggal 12 Juni 2003. Dalam
beritanya disebutkan bahwa sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Profesor
Gambar 6.2
Wilayah penemuan fosil manusia Herto
(Sumber: www.kompas.com)
Gambar 6.3
Tengkorak herto: hidup 160.000 -
154.000 tahun yang lalu
(Sumber: www.kompas.com)
204
Tim White melakukan upaya penggalian dan menemukan sejumlah tengkorak
dari dua orang dewasa dan satu anak-anak. Tengkorak-tengkorak tersebut
diperkirakan berumur 160.000 tahun. Ketiganya digali dari lapisan sedimen
di dekat Desa Herto di wilayah Afar, sebelah timur Ethiopia. Mereka
ditengarai merupakan fosil manusia modern (Homo Sapiens) yang tertua
di dunia.
Hal yang membuat para peneliti sangat tertarik dengan penemuan di
atas ialah karena ia cocok dengan penelitian genetis terakhir yang menyebutkan
Afrika sebagai asal-usul manusia modern. Selain itu, umur fosil juga sesuai
dengan perkiraan ilmuwan tentang munculnya manusia modern pertama
kali. Tengkorak manusia Herto yang ditemukan tidak sama persis dengan
tengkorak manusia yang hidup saat ini. Ukuran mereka lebih besar, lebih
panjang, dan tulang alisnya lebih tebal. Perbedaan kecil namun sangat
penting ini, membuat tim peneliti memasukkan tengkorak ini dalam subspesies
baru manusia modern yang disebut Homo Sapiens Idaltu (idaltu berarti
“lebih tua” dalam bahasa lokal Afar).
Penemuan fosil di Herto ini membuat gembira golongan ilmuwan yang
meyakini bahwa manusia modern memiliki nenek moyang yang tinggal di
Afrika 200.000 tahun lalu. Mereka yang mendukung teori “Out of Africa”
ini percaya bahwa nenek moyang asal Afrika itulah yang menyebar ke
seluruh penjuru dunia dan menggantikan spesies “manusia” lain yang ada
saat itu, seperti manusia Neanderthal di Eropa. Ini artinya bila manusia
modern telah hidup di Afrika 160.000 tahun lalu, maka kita pastilah bukan
keturunan spesies seperti Neanderthal.
B. ASAL-USUL MANUSIA INDONESIA
Indonesia termasuk salah satu negara tempat ditemukannya manusia
purba. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan
fosil-fosil yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang belulang, baik binatang
maupun manusia, yang hidup pada zaman purba yang usianya sekitar ratusan
atau ribuan tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia
purba pada saat itu, yaitu dengan cara mempelajari benda-benda peninggalannya
yang biasa disebut dengan artefak.
Kegiatan 6.1
Carilah berbagai pendapat atau pandangan orang tentang teori evolusi, apakah
mereka setuju atau tidak. Buatlah perbandingan alasan mengapa mereka setuju
dan mengapa tidak setuju, dan bagaimana pendapatmu.
205
Manusia purba yang ditemukan di
Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hampir
sama dengan manusia purba yang ditemukan
di negara-negara lainnya di dunia. Bahkan
Indonesia dapat dikatakan mewakili penemuan
manusia purba di daratan Asia. Daerah
penemuan manusia purba di Indonesia tersebar
di beberapa tempat, khususnya di Jawa.
Penemuan fosil manusia purba di Indonesia
terdapat pada lapisan pleistosen. Salah satu
jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia
hampir memiliki kesamaan dengan yang
ditemukan di Peking Cina, yaitu jenis
Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang manusia purba di Indonesia telah lama dilakukan.
Sekitar abad ke-19 para sarjana dari luar meneliti manusia purba di Indonesia.
Sarjana pertama yang meneliti manusia purba di Indonesia ialah Eugene
Dubois seorang dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian
di gua-gua di Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan
kerangka manusia. Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa.
Pada tahun 1890, E. Dubois menemukan fosil yang ia beri nama Pithecanthropus
Erectus di dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh
dari Ngawi (Madiun).
E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada
tahun berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan
sebuah geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa
meter dari situ ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri.
Untuk membedakan apakah fosil itu, fosil manusia atau kera, E.Dubois
memperkirakan isi atau volume otaknya. Volume otak dari fosil yang ditemukan
itu, diperkirakan 900 cc. Manusia biasa memiliki volume otak lebih dari
1000 cc, sedangkan jenis kera yang tertinggi hanya 600 cc. Jadi, fosil
yang ditemukan di Trinil merupakan makhluk di antara manusia dan kera.
Bentuk fisik dari makhluk itu ada yang sebagian menyerupai kera, dan ada
yang menyerupai manusia. Oleh karena bentuk yang demikian, maka E.
Dubois memberi nama Pithecanthropus Erectus artinya manusia-kera yang
berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus = manusia, erectus = berjalan
tegak). Jika makhluk ini kera, tentu lebih tinggi tingkatnya dari jenis kera,
dan jika makhluk ini manusia harus diakui bahwa tingkatnya lebih rendah
dari manusia (Homo Sapiens).
Kata-kata kunci
• manusia purba
• Homo Wajakensis
• Pithecanthropus
Erectus
• Homo soloensis
• Pithecanthropus
Mojokertensis
• Meganthropus
Paleojavanicus
206
Gambar 6.4
Pithecanthropus Erectus sebagaimana direkonstruksi oleh Dubois
(Sumber: Sejarah Kebudayaan Indonesia, Soekmono, halaman 27)
Sebelum menemukan fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang
paha tengah (femur), Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan
pada tiga teori. Ketiga dasar teori tersebut selain digunakan sebagai acuan
akademik sekaligus untuk meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa
pencarian missing link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih
berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah tiga landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama,
seperti halnya dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia
berasal dari daerah tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut
pada tubuh manusia purba yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika
yang hangat. Kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada
umumnya mereka tinggal di daerah geografi yang sama dengan asal nenek
moyangnya. Dari segi biologi, binatang yang paling mirip dengan manusia
ialah kera besar. Sehingga nenek moyang kera besar diduga mempunyai
hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia. Charles Darwin
dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan, manusia lebih
dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse. Dalam hal
ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara merupakan
asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut
Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan
dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorila
dan simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan
fosil rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit
Siwalik, India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam
itu, maka terbuka kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
207
Berlandaskan ketiga dasar teori tersebut dan setelah mendapat dukungan
dari pemerintah Hindia Belanda, maka Dubois memulai usaha pencariannya.
Keberhasilan kedua adalah ditemukannya fosil “java man” atau Pithecanthropus
Erectus, sekarang lebih dikenal dengan nama Homo Erectus di Trinil (Jawa
Timur). Saat ini Homo Erectus dipercaya merupakan salah satu kerabat
dekat manusia modern (Homo Sapiens).
Berdasarkan analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan metode
mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis), diduga
umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang melibatkan
tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah ilmiah
bergengsi Science vol. 263 (1994).
Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan
teori Dubois adalah di missing link, yang menyebutkan mata rantai keramanusia
telah terjawab dengan ditemukannya “java man”. Pendapat itu
keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia purba di Sangiran
(Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata
jauh lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding temuannya.
Selain itu, ada kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang
meningkat 2 kali lipat sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut
Dubois volume otak fosil “java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah
dari volume otak manusia modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut
runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan penghitungan yang
lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada kera besar
yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc.
“Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing link kera-manusia, ia
lebih tepat disebut manusia purba.
Penemuan fosil manusia purba yang telah dilakukan oleh Dubois pada
akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya yang dilakukan oleh
para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan upaya penyelidikan
dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di daerah Trinil (Jawa Timur).
Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak berhasil menemukan
fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah berhasil menemukan
fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan dukungan
untuk menggambarkan lingkungan hidup manusia Pithecanthropus.
G.H.R von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun 1936 sampai
1941 di daerah sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936 Koenigswald
menemukan fosil tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi tengkorak
tersebut, diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun. Kemungkinan
tengkorak tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus Erectus,
tetapi von Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis.
208
Pada tahun-tahun selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan
bekas-bekas manusia prasejarah, di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus
lainnya. Di samping itu, banyak pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui.
Berdasarkan atas fauna (dunia hewan), von Koeningswald membagi diluvium
Lembah Sungai Solo (pada umumnya diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan,
yaitu lapisan Jetis (pleistosen bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil
(pleistosen tengah) dan paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen
atas).
Pada setiap lapisan itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus
Erectus penemuan E. Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan
pleistosen tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah
dan ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia
purba yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus,
dan dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah
terdapat pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus
Mojokertensis. Jenis Pithecanthropus memiliki tengkorak yang tonjolan
keningnya tebal. Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.
Mereka hidup antara 2 setengah sampai 1 setengah juta tahun yang lalu.
Hidupnya dengan memakan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus
masih hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai
memasak, sehingga makanan dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian
mereka masih tinggal di padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan
binatang buas. Oleh karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok.
Pada tahun 1941, von Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai
Solo juga, menemukan sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar
dan kuat dari rahang Pithecanthropus. Geraham-gerahamnya menunjukkan
corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak pula sifat keranya. Tidak ada
dagunya. Von Koeningwald menganggap makhluk ini lebih tua daripada
Pithecanthropus. Makhluk ini ia beri nama Meganthropus Paleojavanicus
(mega = besar), karena bentuk tubuhnya yang lebih besar. Diperkirakan
hidup pada 2 juta sampai satu juta tahun yang lalu.
Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas fosil
tengkorak pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan
Solo. Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada beberapa yang
dapat memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu,
tidak ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil
temuannya ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya
daripada Pithecanthropus Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai
manusia. Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis
(manusia dari Solo).
209
Pada tahun 1899 ditemukan sebuah tengkorak di dekat Wajak sebuah
desa yang tak jauh dari Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut
Homo Wajakensis. Jenis manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 –
210 cm, dengan berat badan kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan
hidung yang masih lebar, mulutnya masih menonjol. Dahinya masih menonjol,
walaupun tidak seperti Pithecanthropus. Manusia ini hidup antara 25.000
sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di Asia Tenggara juga terdapat
jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di Serawak (Malaysia Timur),
Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini dibandingkan jenis sebelumnya
sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat alat-alat dari batu maupun
tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar dan menangkap binatang
buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang buruannya setelah
dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan dengan cara
dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini menunjukkan
adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan jenis
manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis
termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo
Soloensis dan nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia.
Menurut von Koenigswald, Homo Wajakensis seperti juga Homo Solensis
berasal dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk
jenis Homo Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah sempurna mirip
dengan manusia. Mereka telah mengenal penguburan pada saat meninggal.
Berbeda dengan jenis manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal
cara penguburan.
Selain di Indonesia, manusia jenis Pithecanthropus juga ditemukan di
belahan dunia lainnya. Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina,
di Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus Lautianensis dan di Cina
Utara ditemukan Pithecanthropus Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup
berturut-turut sekitar 800.000 – 500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika,
fosil jenis manusia Pithecanthropus ditemukan di daerah Tanzania, Kenya
dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil manusia Pithecanthropus ditemukan
di Jerman, Perancis, Yunani, dan Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil
manusia Pithecanthropus yang terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan
Cina.
Di Australia Utara ditemukan fosil yang serupa dengan manusia jenis
Homo Wajakensis yang terdapat di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil
dari seorang wanita, sebuah rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari
manusia purba yang ditemukan di Australia itu sangat mirip dengan manusia
Wajak. Apabila menilik peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial,
210
memperlihatkan bahwa pulau Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan
dengan Australia. Oleh karena itu, diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi
ke Australia dengan menggunakan jembatan penghubung. Diduga mereka
telah memiliki keterampilan untuk membuat perahu serta mengarungi sungai
dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan Australia.
Setelah masa penjajahan Belanda selesai, penelitian manusia purba
dilanjutkan oleh orang Indonesia sendiri. Pada tahun 1952 penelitian dimulai.
Penelitian ini terutama dilakukan oleh dokter dan geolog yang kebetulan
harus meneliti lapisan-lapisan tanah. Seorang dokter dari UGM yang mengkhususkan
dirinya pada penyelidikan tersebut adalah Prof. Dr. Teuku Jacob. Dia
memulai penyelidikannya di daerah Sangiran. Penelitian ini kemudian meluas
ke Bengawan Solo.
Gambar 6.5
Perbandingan tengkorak-tengkorak Simpanse,
Pithecanthropus Erektus dan manusia
(Sumber: Sejarah Kebudayaan Indonesia, Soekmono, halaman 26)
Berdasarkan uraian di atas, penyebaran penemuan manusia purba di
Indonesia dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.
HOLOSEN
PLESTOSEN
atas
(lapisan dan fauna Ngandong)
PLESTOSEN
tengah
(Lapisan dan fauna Trinil)
PLEISTOSEN
bawah
(lapisan dan fauna Jetis)
Homo Sapiens
Homo Wajakensis
Homo Soloensis
Pithecanthropus Erectus
Pithecanthropus Erectus
Pithecanthropus Mojokertensis
Meganthropus Paleojavanicus
211
C. PERSEBARAN MANUSIA DI KEPULAUAN INDONESIA
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa lingkungan alam bumi ini terus mengalami
perubahan. Pada kala pleistosen, di bumi
terjadi empat kali masa glasial dan tiga kali
masa interglasial. Pada zaman glasial, suhu
bumi makin dingin sehingga sebagian besar
belahan bumi utara dan selatan tertutup oleh
lapisan es tebal. Permukaan air laut menurun dan laut yang dangkal ini
berubah menjadi daratan. Kondisi demikian memungkinkan bagi manusia
ataupun hewan yang hidup pada masa itu melakukan migrasi. Migrasi atau
perpindahan dari suatu daerah ke daerah lain dilatarbelakangi oleh upaya
untuk mempertahankan hidup. Selain didorong untuk mencari daerah yang
lebih nyaman dan hangat, perpindahan dilakukan juga untuk mencari daerahdaerah
yang masih sangat kaya akan sumber makanan. Kita ingat bahwa
pada masa itu manusia sangat tergantung pada alam. Dengan keterbatasan
pemikiran dan kemampuan, mereka menyandarkan hidup sepenuhnya pada
alam. Apabila alam tempatnya hidup sudah tidak lagi menyediakan sumber
makanan, maka mereka berpindah ke tempat yang masih kaya akan sumber
makanan. Manusia pada masa ini masih bersifat food gathering yang artinya
kemampuannya hanya terbatas pada mengumpulkan bahan makanan yang
tersedia di alam dan belum pada taraf food producing, yaitu kemampuan
untuk mengolah alam sehingga menghasilkan sumber makanan atau dalam
hal ini kemampuan bercocok tanam.
Para ahli geologi memperkirakan bahwa pada kala pleistosen khususnya
ketika terjadinya glasiasi, Kepulauan Nusantara ini bersatu dengan daratan
Asia. Laut dangkal yang ada di antara pulau-pulau di Nusantara bagian
barat surut sehingga membentuk paparan yang disebut dengan Paparan
Sunda yang menyatukan Indonesia bagian barat dengan daratan Asia. Hal
yang sama juga terjadi di Indonesia bagian timur. Di daerah ini terbentuk
paparan yang kemudian dinamakan Paparan Sahul yang menyatukan Indonesia
bagian timur dengan daratan Australia. Adanya Paparan Sunda memungkinkan
terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Asia ke Indonesia
bagian barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan Sahul memungkinkan terjadinya
Kegiatan 6.2
Buatlah dalam suatu tabel jenis-jenis manusia purba, cantumkan persamaan dan
perbedaan dari ciri-ciri fisik manusia purba tersebut.
Kata-kata kunci
• teori Yunani
• teori Nusantara
• teori Out of Afrika
212
perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke Indonesia bagian
timur, atau sebaliknya.
Hal di atas dibuktikan dengan hasil kajian yang dikembangkan oleh
Wallace yang menyelidiki tentang persebaran fauna (zoogeografi) di Kepulauan
Indonesia. Fauna yang terdapat di daerah Paparan Sunda, yaitu daerahdaerah
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, mempunyai persamaan dengan
fauna yang terdapat di Daratan Asia. Adapun fauna yang terdapat di daerah
Paparan Sahul, yaitu daerah Papua (Irian) dan sekitarnya mempunyai persamaan
dengan fauna yang terdapat di Australia. Wallace menyimpulkan bahwa
Selat Lombok merupakan garis yang membagi dua jenis daerah zoogeografi
di Indonesia. Di sebelah barat garis tersebut terdapat fauna Asia, sedangkan
di timurnya terdapat fauna Australia. “Garis pemisah” fauna ini kemudian
oleh Huxley diberi nama “garis Wallace”. Selanjutnya ia kemudian melengkapi
dengan menarik garis itu lebih jauh ke arah utara, yaitu dimulai dari Selat
Lombok sampai Selat Makasar dan terus lagi ke utara melewati selat
antara Kepulauan Sangir dan Mindanao (Filipina).
Terhubungnya pulau-pulau akibat pengesan yang terjadi pada masa
glasial memungkinkan terjadinya migrasi manusia dan fauna dari daratan
Asia ke kawasan Nusantara. Berdasarkan hasil penelitian, migrasi ini didahului
oleh perpindahan binatang yang kemudian diikuti oleh manusia dan diperkirakan
terjadi pada kala pleistosen. Sebagai bukti adanya proses migrasi awal
binatang dari daratan Asia ke wilayah Indonesia ialah ditemukannya situs
paleontologi tertua di daerah Bumiayu yang terletak di sebelah selatan
Tegal (Jawa Tengah) dan Rancah di sebelah timur Ciamis (Jawa Barat).
Fosil tersebut, yaitu Mastodon Bumiayuensis (spesies gajah) dan Rhinoceros
Sondaicus (spesies Badak). Bila dibandingkan dengan fosil binatang di
daratan Asia, fosil-fosil tersebut berumur lebih muda dari fosil-fosil yang
terdapat dalam kelompok fauna Siwalik di India.
Proses migrasi yang terjadi pada masa pleistosen ini menyebabkan
wilayah Nusantara mulai dihuni oleh manusia. Timbul pertanyaan tentang
asal-usul manusia yang bermigrasi ke wilayah Nusantara ini. Menilik dari
segi fisik manusia Indonesia sekarang ini, mayoritas dapat dikelompokkan
ke dalam ras Mongoloid dan Austroloid. Para ahli memperkirakan bahwa
pada sekitar abad ke-40 sebelum masehi, Pulau Jawa merupakan daerah
pertemuan dari beberapa ras dan daerah pertemuan kebudayaan.
Ciri-ciri Mongoloid yang terdapat pada manusia Indonesia, nampaknya
disebabkan adanya arus migrasi yang berasal dari daratan Asia. Kedatangan
mereka pada akhirnya menyingkirkan manusia yang sudah hidup sebelumnya
di tanah Nusantara, yaitu dari ras yang disebut Austroloid. Bangsa pendatang
dari Asia ini mempunyai kebudayaan dan tingkat adaptasi yang lebih baik
sebagai pemburu dibandingkan dengan manusia pendahulunya. Keturunan
213
dari ras Austroloid ini nampaknya tidak ada yang dapat hidup di Jawa,
tetapi mereka saat ini dapat ditemukan sebagai suku Anak Dalam atau
Kubu di Sumatera Tengah dan Indonesia bagian timur.
Arus migrasi para pendatang dari wilayah Asia ke Kepulauan Nusantara
terjadi secara bertahap. Pada sekitar 3.000 - 5.000 tahun lalu, tiba arus
pendatang yang disebut proto-Malays (Proto Melayu) ke Pulau Jawa.
Keturunan mereka saat ini dapat dijumpai di Kepulauan Mentawai Sumatera
Barat, Tengger di Jawa Timur, Dayak di Kalimantan, dan Sasak di Lombok.
Setelah itu, tibalah arus pendatang yang disebut Austronesia atau Deutero-
Malays (Detro Melayu) yang diperkirakan berasal dari Taiwan dan Cina
Selatan. Para ahli memperkirakan kedatangan mereka melalui laut dan
sampai di Pulau Jawa sekitar 1.000 - 3.000 tahun lalu. Sekarang keturunannya
banyak tinggal di Indonesia sebelah barat. Orang Detro Melayu ini datang
ke wilayah Nusantara dengan membawa keterampilan dan keahlian bercocok
tanam padi, pengairan, membuat barang tembikar/pecah-belah, dan kerajinan
dari batu.
Seorang ahli bahasa, yaitu H. Kern, melalui hasil penelitiannya menyatakan
bahwa terdapat keserumpunan bahasa-bahasa di Daratan Asia Tenggara
dan Polinesia. Menurut pendapatnya, tanah asal orang-orang yang mempergunakan
bahasa Austronesia, termasuk bahasa Melayu, harus dicari di daerah Campa,
Vietnam, Kamboja, dan daratan sepanjang pantai sekitarnya. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Cina
Selatan yaitu di daerah Yunan. Selain itu, R. von Heine Geldern yang
melakukan penelitian tentang distribusi dan kronologi beliung dan kapak
lonjong yang ada di Indonesia tiba pada kesimpulan bahwa alat-alat tersebut
merupakan hasil persebaran komplek kebudayaan Bacson-Hoabinh yang
ada di daerah Tonkin (Indocina) atau Vietnam sekarang ini.
Sebenarnya terdapat beberapa teori yang membahas tentang asal-usul
manusia yang sekarang menghuni wilayah Nusantara ini. Teori-teori tersebut
antara lain sebagai berikut.
a. Teori Yunan
Teori ini didukung oleh beberapa sarjana seperti R.H Geldern, J.H.C
Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana, dan Asmah Haji Omar.
Secara keseluruhan, alasan-alasan yang menyokong teori ini yaitu sebagai
berikut.
1) Kapak Tua yang ditemukan di wilayah Nusantara memiliki kemiripan
dengan Kapak Tua yang terdapat di Asia Tengah. Hal ini menunjukkan
adanya migrasi penduduk dari Asia Tengah ke Kepulauan Nusantara.
2) Bahasa Melayu yang berkembang di Nusantara serumpun dengan bahasa
yang ada di Kamboja. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di Kamboja
214
mungkin berasal dari Dataran Yunan dengan menyusuri Sungai Mekong.
Arus perpindahan ini kemudian dilanjutkan ketika sebagian dari mereka
melanjutkan perpindahan dan sampai ke wilayah Nusantara. Kemiripan
bahasa Melayu dengan bahasa Kamboja sekaligus menandakan pertaliannya
dengan Dataran Yunan.
Migrasi dari Sungai Mekong
Gambar 6.6
Peta Migrasi Manusia dari Sungai Mekong
(Sumber: D.G. Hall. Sg)
Lihat perbandingan kemiripan antara bahasa Melayu dan Kamboja
berikut ini:
Malay Cham English Malay Cham English
Sungai Sungai River Lada Lada Pepper
Banyak Banyak More Gunung gunong Mountain
Bintang Bintang Star Tembaga Tambaga Bronze
Manis Manis Sweet Timah Tima Tin
Anjing Anjing Dog Pahit Pahit bitter
Sedikit Sadikit Less Mata Mata Eye
Ikan Ikan Fish Sini Ni Here
Orang Orang People Ayer Aya Water
Buat Buat Do Bapa Pak Father
(Sumber: Wikipedia.org.)
215
Teori ini merupakan teori yang paling populer dan diterima oleh banyak
kalangan. Berdasarkan teori ini, orang-orang Nusantara datang dan berasal
dari Yunan. Kedatangan mereka ke Kepulauan Nusantara ini melalui tiga
gelombang utama, yaitu perpindahan orang Negrito, Melayu Proto, dan
juga Melayu Deutro.
1) Orang Negrito
Orang Negrito merupakan penduduk paling awal di Kepulauan Nusantara.
Mereka diperkirakan sudah mendiami kepulauan ini sejak 1000 SM. Hal
ini didasarkan pada hasil penemuan arkeologi di Gua Cha, Kelantan, Malaysia.
Orang Negrito ini kemudian menurunkan orang Semang, yang sekarang
banyak terdapat di Malaysia. Orang Negrito mempunyai ciri-ciri fisik berkulit
gelap, berambut keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh,
serta ukuran badan yang pendek.
2) Melayu Proto
Perpindahan orang Melayu Proto ke Kepulauan Nusantara diperkirakan
terjadi pada 2.500 SM. Mereka mempunyai peradaban yang lebih maju
daripada orang Negrito. Hal ini ditandai dengan kemahirannya dalam bercocok
tanam.
3) Melayu Deutro
Perpindahan orang Melayu Deutro merupakan gelombang perpindahan
orang Melayu kuno kedua yang terjadi pada 1.500 SM. Mereka merupakan
manusia yang hidup di pantai dan mempunyai kemahiran dalam berlayar.
b. Teori Nusantara
Teori ini menyatakan bahwa asal mula manusia yang menghuni wilayah
Nusantara ini tidak berasal dari luar melainkan mereka sudah hidup dan
berkembang di wilayah Nusantara itu sendiri. Teori ini didukung oleh sarjanasarjana
seperti J. Crawford, K. Himly, Sutan Takdir Alisjahbana, dan
Gorys Keraf. Akan tetapi, nampaknya teori ini kurang populer dan kurang
banyak diterima oleh masyarakat.
Teori Nusantara didasarkan pada alasan-alasan seperti di bawah ini.
1) Bangsa Melayu dan bangsa Jawa mempunyai tingkat peradaban yang
tinggi. Taraf ini hanya dapat dicapai setelah perkembangan budaya yang
lama. Hal ini menunjukkan bahwa orang Melayu tidak berasal dari manamana,
tetapi berasal dan berkembang di Nusantara.
216
2. K. Himly tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa bahasa
Melayu serumpun dengan bahasa Champa (Kamboja). Baginya, persamaan
yang berlaku di kedua bahasa tersebut adalah suatu fenomena yang bersifat
“kebetulan”.
3. Manusia kuno Homo Soloensis dan Homo Wajakensis yang terdapat
di Pulau Jawa. Penemuan manusia kuno ini di Pulau Jawa menunjukkan
adanya kemungkinan orang Melayu itu keturunan dari manusia kuno tersebut,
yakni berasal dari Jawa.
4. Bahasa yang berkembang di Nusantara yaitu rumpun bahasa Austronesia,
mempunyai perbedaan yang sangat jauh dengan bahasa yang berkembang
di Asia Tengah yaitu bahasa Indo-Eropah.
c. Teori “out of Africa”
Hasil penelitian mutakhir/kontemporer menyatakan bahwa manusia modern
yang hidup sekarang ini berasal dari Afrika. Setelah mereka berhasil melalui
proses evolusi dan mencapai taraf manusia modern, kemudian mereka bermigrasi
ke seluruh benua yang ada di dunia ini. Apabila kita bersandar pada teori
ini, maka bisa dikatakan bahwa manusia yang hidup di Indonesia sekarang
ini merupakan hasil proses migrasi manusia modern yang berasal dari Afrika
tersebut.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa fosil-fosil manusia purba
yang ditemukan di Indonesia atau khususnya di daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur tidak mempunyai hubungan langsung dengan manusia modern.
Dengan demikian, nampaknya jenis-jenis manusia purba yang pernah hidup
di Indonesia khususnya Jawa, seperti Meganthropus Palaeojavanicus,
Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis, Homo Wajakensis, dan sebagainya
telah mengalami kepunahan. Mereka pada akhirnya digantikan oleh komunitas
manusia yang berasal dari Afrika yang melakukan proses migrasi hingga
sampai di Kepulauan Nusantara. Nampaknya teori ini perlu terus dikaji
dan disosialisasikan, sehingga dapat diterima oleh masyarakat.
Namun Homo Erectus yang pernah tinggal di Pulau Jawa mempunyai
sejarah menarik karena dapat bertahan sekitar 250.000 tahun lebih lama
dari jenis yang sama yang tinggal di tempat lain di Asia, bahkan mungkin
bertahan sekitar 1 juta tahun lebih lama dari yang tinggal di Afrika. Umur
fosil Homo Erectus terakhir yang ditemukan di Ngandong dan Sambungmacan
(Jawa Tengah) sekitar 30.000 sampai 50.000 tahun. Homo Erectus (“java
man”) di Pulau Jawa diduga pernah hidup dalam waktu yang bersamaan
dengan Homo Sapiens (manusia modern).
Sampai saat ini, penyebab kepunahan “java man” masih misteri. Diduga
salah satu penyebabnya ialah karena keterbatasan strategi hidup mereka.
217
Tidak ditemukannya peralatan dari batu (misalnya untuk membelah daging
atau untuk berburu) di sekitar fosil mereka menunjukkan bahwa kehidupannya
masih sangat primitif. Diduga mereka memakan daging dari binatang yang
telah mati (scavenger). Kolonisasi Homo Sapiens yang berasal dari Afrika
berhasil, karena mereka punya strategi hidup yang lebih baik dibanding
penduduk asli Homo Erectus.
Berdasarkan ketiga teori tersebut, silahkan kamu mencari kekuatan
dan kelemahan dari masing-masing teori. Alangkah lebih baik jika kamu
bekerja dalam kelompok. Kemudian diskusikan dalam kelompokmu atau
berdiskusi dan beradu argumentasi dengan kelompok yang lain.
Asal usul manusia berkaitan dengan teori evolusi. Tokoh yang mengeluarkan
teori evolusi ialah Charles Darwin. Berdasarkan teorinya, Darwin mencoba
memberikan jawaban tentang asal-usul manusia dan bagaimana manusia itu
mengalami perkembangan secara fisik.
Penemuan manusia purba di Indonesia dapat menjelaskan tentang asal
usul dan penyebaran manusia di Indonesia. Berdasarkan penemuan-penemuan
tersebut maka timbul berbagai teori mengenai asal usul dan persebaran
manusia di Indonesia.
Evolusi-multiregional : teori yang memandang asal usul manusia modern
sebagai suatu fenomena yang mencakup seluruh
dunia.
Food gathering : kemampuannya hanya terbatas pada mengumpulkan
bahan makanan yang tersedia di alam.
Food producing : kemampuan untuk mengolah alam sehingga
menghasilkan sumber makanan atau dalam hal ini
kemampuan bercocok tanam.
Kegiatan 6.3
Buatlah dalam suatu tabel perbandingan teori-teori tentang asal usul dan
persebaran manusia di Indonesia.
RINGKASAN
GLOSARIUM
218
Materialisme : aliran filsafat yang memandang bahwa hakikat yang
ada ialah materi.
Missing link : terputusnya rantai yang dapat menghubungkan antara
makhluk awal dengan manusia modern.
Teori evolusi : teori yang membahas tentang asal-usul makhluk
manusia beserta bagaimana perkembangan fisik
manusia.
Teori Out of Africa : teori yang menyebutkan bahwa manusia modern
berasal dari satu keturunan di Afrika.
Teori Nusantara : teori yang menyatakan bahwa asal mula manusia
yang menghuni wilayah Nusantara ini tidak berasal
dari luar melainkan mereka sudah hidup dan
berkembang di wilayah Nusantara itu sendiri.
Teori Yunan : teori yang menyatakan bahwa asal usul nenek moyang
bangsa Indonesia berasal dari Yunan, yaitu adanya
migrasi penduduk dari Asia Tengah ke Kepulauan
Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Pages

| Re-designed by Pemira PKN STAN